Kaum Ontaleran kembali Berulah, Menolak Pendirian Gereja di Ponorogo

Negeri kita tercinta ini, lagi-lagi mengalami kasus intoleransi. Sekelompok orang yang mengatasnamakan umat Islam, melakukan aksi penolakan terhadap Gereja Bethany yang akan didirikkan di wilayah tersebut.

Seperti biasa, mereka yang mengklaim sebagai mayoritas, melakukan tindakan intoleran terhadap warga minoritas Kristen yang hendak beribadah. Mereka mengatakan bahwa mereka menolak pendirian gereja itu karena tidak ada izin pada umat setempat, dan juga agar tidak terjadi perkara di masyarakat.
Perkara di masyarakat apanya? Tidak ada izin katanya? Pret.

Mereka tidak tahu data Komnas HAM tahun 2013 (maaf sudah lama) bahwa 85 persen rumah ibadah di Indonesia itu tidak berizin, termasuk juga masjid serta mushola. Kita tentu sering melihat bahwa masjid dan mushola itu berdiri begitu saja, bagai jamur di musim hujan.

Biasanya tempat ibadat itu menurut kebutuhan (supaya dekat) atau karena memang si pendiri tidak paham prosedur.

Adil atau tidak, ketika umat mayoritas merasa bisa mendirikan ibadah dengan begitu mudahnya sementara minoritas dipersulit dengan izin dan tetek bengeknya?

Wahai para pejabat MUI, para ulama yang terhormat, dimana suara Anda saat intoleransi terjadi?

Sebenarnya saya tidak mengharapkan ada suara dari MUI, karena memang biasanya mereka ini adalah oknum-oknum yang mendukung intoleransi. Memang mereka tidak melakukan sponsor secara langsung, tapi mereka melakukan pembiaran atas intoleransi tersebut.

Karena ada pembiaran tersebut, akhirnya orang-orang ontaleran intoleran ini dapat angin. Mereka pun juga sepertinya sudah menyiapkan ayat-ayat atau sunnah yang bisa dipakai untuk membenarkan perbuatan mereka. Kepercayaan mereka pun semakin tinggi karena keyakinan bahwa mereka tidak akan dihukum.

Bapak-ibu di MUI ini, sebenarnya punya banyak kesempatan untuk berbenah, dan semakin tanggap terhadap isu-isu yang ada di tengah umat. Tapi mereka tidak memanfaatkan kesempatan itu secara baik. Mereka malah asik dengan sertifikasi halal dan tetek bengek lain yang sebenarnya tidak perlu diurus. Tapi karena urusan halal dan tetek bengek itu menguntungkan, akhirnya diurus.

Memang urusan intoleransi tidak akan membawa keuntungan buat MUI. Tapi apakah karena hal itu, mereka jadi menutup mata terhadap hal itu? Kalau misal itu benar, kita bisa menganggap bahwa MUI adalah sebuah lembaga yang cenderung pragmatis, oportunis, dan cenderung pilih-pilih kasus.

Pak Jokowi sebagai presiden juga sepertinya belum bersuara akan hal ini.

Mana suara bapak terhadap hal ini? Ingat Pak, bapak itu presiden yang harus berdiri di atas semua golongan. Bukan hanya karena tidak sesuai kehendak mereka yang mengklaim mayoritas, bapak langsung tidak berdaya dengan keinginan mereka.

Bapak adalah representasi dari negara, dimana negara harus hadir untuk melindungi kebebasan beragama dan beribadah bagi warganya.

Maaf kalau saya harus mengatakan, bahkan di era Gus Yaqut sebagai Menteri Agama, penanganan radikalisme dan intoleransi di Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Semua yang diagendakan sebagai bentuk penanganan intoleransi, baru sekedar wacana dan belum direalisasikan.

Wahai bapak-bapak, ingatlah bahwa jabatan Anda di pemerintahan tinggal sebentar lagi. Proyek serta rencana yang harus dilakukan untuk penanganan radikalisme harus segera dimulai, agar bisa diteruskan di era pemerintahan selanjutnya.

Hal itu perlu dilakukan, karena kita sama-sama tahu tradisi buruk pergantian kepemimpinan di Indonesia : ganti pemimpin, artinya juga ganti kebijakan. Semua seolah-olah kembali ke progress awal pada saat pemimpin baru hadir, walaupun progress yang ada sebenarnya tinggal dilanjutkan.

Kalau boleh usul, karena masa jabatan juga udah hampir habis; saya beri tantangan yang mudah. Cabut SKB 3 Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah. Karena aturan itu yang biasa digunakan oleh kaum ontaleran intoleran untuk menghambat pendirian rumah ibadah terutama bagi minoritas. Aturan itu seringkali tumpul ke mayoritas, tapi tajam ke minoritas.

Aturan itu memang pada awalnya dibuat sebagai bentuk ketertiban pada masyarakat. Namun hal itu justru malah menjadi bumerang bagi toleransi dan keberagaman di negeri ini. Dan sebagai sebuah aturan yang sudah keluar dari jalurnya, aturan itu haruslah dicabut demi kerukunan dan keberagaman di Indonesia.

Terima kasih.

Sumber : Cakrawala.co | Tempo.co

0 Response to "Kaum Ontaleran kembali Berulah, Menolak Pendirian Gereja di Ponorogo"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel